Wednesday 23 January 2013

Aksi Solidaritas Petani Menuntut Haknya


Mimin sangat kecewa. Petani perempuan yang memiliki empat anak ini merasa dirampas haknya setelah aparat keamanan dan pengusaha mengusirnya dari lahan yang ia garap. Lebih tragis lagi karena setelah diusir dari satu-satunya sumber mata pencaharian, sang suami jatuh sakit. Akhirnya ia bertekad untuk mengadukan nasibnya kepada pemerintah.
Mimin tak sendiri. Bersama sekira 65 petani lainnya yang berasal dari Jambi dan tergabung dalam Serikat Tani Nasional (STN), Mimin memilih cara menyampaikan uneg-unegnya kepada pemerintah pusat dengan berjalan kaki dari Jambi menuju Jakarta. Mereka tiba hari ini di Jakarta setelah menempuh perjalanan selama 42 hari.
Ketua Umum STN, Yoris Sindhu Sunarjan menuturkan bahwa Mimin dkk sebenarnya tak hanya menuntut kasus konflik agraria yang mereka alami, melainkan kasus serupa yang hampir menimpa semua petani di seluruh daerah. Mimin dkk meminta agar pemerintah, khususnya presiden dan Kementerian Kehutanan benar-benar menjalankan amanat konstitusi.
Yoris mensinyalir terjadi pelanggaran HAM dalam berbagai konflik agraria itu sehingga masyarakat yang terlibat dalam konflik tersebut menjadi trauma dan dihantui teror. “Perampasan lahan, penghancuran lingkungan, penghilangan sumber-sumber kehidupan seakan terus berlangsung dan eskalasinya terus bertambah,” kata dia kepada wartawan di Jakarta, Selasa (22/1).
Salah satu modus yang kerap dihadapi petani dalam konflik agraria menurut Yoris adalah perampasan tanah. Misalnya, tanah warga diambil alih perusahaan untuk dijadikan perkebunan. Ironisnya, hal itu seolah direstui oleh pemerintah lewat izin penggunaan lahan yang diterbitkan.
“Buat apa saya jauh-jauh jalan kaki lalu pulang dengan tangan hampa? Saya tetap akan bertahan disini sampai Presiden dan Menhut memenuhi tuntutan para petani,” timpal Mimin.
Rencananya, para petani itu bersama ratusan elemen masyarakat lainnya seperti serikat pekerja dan mahasiswa akan berdemo di depan Istana Negara. Mereka meminta agar Presiden menemui secara langsung. Jika permintaan itu tak dikabulkan, tak menutup kemungkinan para petani itu akan menginap di depan Istana Negara.
Terpisah, anggota Komnas HAM, Dianto Bachriadi, mengatakan secara umum konflik agraria di Indonesia sedikitnya terdiri dari tiga penyebab. Pertama, banyak kebijakan pemerintah pusat dan daerah yang cenderung memudahkan akses penggunaan tanah untuk perusahaan. Baik itu di lahan berstatus kehutanan atau budidaya kehutanan. Khusus untuk budidaya kehutanan, Dianto mencatat jumlahnya sangat besar, lebih dari 60 persen dari seluruh daratan di Indonesia. Di area budidaya kehutanan itulah konflik agraria kerap terjadi.
Kedua, adanya indikasi manipulasi penerbitan izin tersebut oleh pemerintah pusat atau daerah. Dengan kemudahan dunia usaha untuk mengakses tanah, menyebabkan penerbitan izin tersebut marak. Ujungnya, lahan yang biasa digarap masyarakat sering diserobot. Misalnya, digunakan untuk bisnis perkebunan dan pertambangan.
Ketiga, secara historis, di Indonesia terjadi ketimpangan kepemilikan tanah sejak masa kolonial Belanda. Sampai saat ini, Dianto melihat jurang pemisah antara pemilik tanah dan orang yang tak punya tanah semakin lebar. Sejalan dengan itu, jumlah petani tak bertanah dan petani kecil atau petani yang punya lahan kurang dari setengah hektar, menjadi bertambah. Mengingat minimnya peran pemerintah menyelesaikan persoalan itu, akhirnya para petani tersebut melakukan upaya yang dilakukan secara individu atau berkelompok untuk menduduki tanah.
Pendudukan yang dilakukan para petani tak bertanah itu untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Sementara tanah yang diduduki tersebut, Dianto melanjutkan, mulai dari perkebunan terlantar, perkebunan aktif dan kehutanan. Alhasil, ketika lahan yang sudah digunakan petani itu digarap untuk kegiatan bisnis, maka meletuslah konflik. Tentu saja konflik itu melibatkan aparatur pemerintah dan pihak pengusaha.
Untuk menyelesaikan konflik agraria, Dianto berpendapat, pemerintah dapat melakukan beberapa langkah. Yang utama, pemerintah harus punya kemauan politik untuk menyelesaikan konflik agraria secara komprehensif. Kemudian, rakyat yang tak punya tanah menjadi prioritas utama pemerintah untuk dituntaskan permasalahannya terkait agraria. Misalnya, selama ini dalam menghadapi konflik agraria di masyarakat, dalih yang selalu digunakan kepada masyarakat tak bertanah adalah faktor legal seperti kepemilikan sertifikat tanah dan lainnya.
Jika mekanisme itu digunakan, Dianto yakin mayoritas rakyat yang tak bertanah akan kalah. Oleh karenanya, Dianto menyarankan agar pemerintah mengalokasikan sebagian tanah yang disengketakan itu kepada rakyat atau petani yang sudah menggunakannya. Kemudian, sebagian tanah lain, barulah dikelola untuk kepentingan pemerintah atau bisnis. Menurutnya, cara itu lebih manusiawi ketimbang mementingkan langkah legal formal.
Bagi Dianto, jika pemerintah sudah memberikan tanah kepada petani atau warga tak bertanah, barulah Indonesia dapat melangkah pada tahap legal formal. Namun, sebaliknya, jika pemerintah tak mampu menuntaskan konflik agraria secara komprehensif, maka Indonesia tidak dapat beranjak menuju situasi agraria baru. Yaitu melihat kepemilikan tanah secara legal formal. “Berikan dulu petani itu tanah, setelah itu baru ngomong soal penegakan hukum,” ucapnya kepada Koncohukum lewat telepon, Selasa (22/1).

Terkait

Description: Aksi Solidaritas Petani Menuntut Haknya Rating: 4.5 Reviewer: Konco Hukum ItemReviewed: Aksi Solidaritas Petani Menuntut Haknya
Al
Mbah Qopet Updated at: 02:47

0 comments:

Post a Comment